JAKARTA - Peraturan Menteri Perhubungan (PM) No.89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan bagi Badan Usaha Angkutan Niaga Berjadwal Nasional terdiri atas keterlambatan penerbangan (flight delayed), tidak terangkutnya penumpang karena kapasitas pesawat udara (denied boarding passenger), dan pembatalan penerbangan (cancelation of flight).

Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perhubungan J. A. Barata di Jakarta, Jumat (29/5) menjelaskan, yang dimaksud keterlambatan penerbangan dalam PM No.89 Tahun 2015 adalah dihitung berdasarkan perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan yaitu pada saat pesawat block off meninggalkan tempat parkir pesawat (apron) atau saat pesawat block on dan parkir di apron bandara tujuan.

Barata menambahkan, keterlambatan penerbangan dikelompokkan dalam 6 kategori yaitu: kategori 1 keterlambatan 30 menit - 60 menit, kategori 2 keterlambatan 61 menit - 120 menit, kategori 3 keterlambatan 121 menit - 180 menit, kategori 4 keterlambatan 181 menit - 240 menit, kategori 5 keterlambatan lebih dari 240 menit dan kategori 6 pembatalan penerbangan.

Adapun faktor keterlambatan penerbangan terdiri dari 4 sebab yaitu: pertama, faktor manajemen airline yangmeliputi, keterlambatan pilot, co pilot dan awak kabin, keterlambatan jasa boga (catering), keterlambatan penanganan di darat, menunggu penumpang baik yang baru melapor (check in),pindah pesawat (transfer) atau penerbangan lanjutan (connecting flight) dan ketidaksiapan pesawat udara.

Kedua, faktor teknis operasional, yaitu disebabkan kondisi bandar udara pada saatkeberangkatan atau kedatangan meliputi bandara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat udara, lingkungan menuju bandara atau landasan terganggu fungsinya seperti retak, banjir atau kebakaran. Penyebab lainnya adalah terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off) mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandara atau keterlambatan pengisian bahan bakar (refueling).

Ketiga, faktor cuaca meliputi, hujan lebat, banjir, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah minimal atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan.

Dan keempat, faktor lain-lain, adalah faktor yang disebabkan di luar faktor manajemen airline, teknis operasional dan cuaca antara lain, kerusuhan, dan/atau demonstrasi di wilayah bandara.

Dikatakan Barata, jika keterlambatan penerbangan disebabkan oleh faktor teknis operasional dan faktor cuaca, maka maskapai wajib menginformasikan dengan bukti surat keterangan resmi dari instansi terkait yaitu dariOtoritas Bandara dan Unit Penyelenggara Bandara, jika keterlambatan tersebut disebabkan oleh teknis operasional, dan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) jika keterlambatan disebabkan oleh faktor cuaca.

"Maskapai bertanggung jawab atas keterlambatan yang disebabkan faktor manajemen airlines dan melakukan ganti rugi atas keterlambatan tersebut," papar Barata. (SNO)