Kepala Badan Diklat Dephub Dedi Darmawan dalam keterangan persnya mengungkapkan bahwa kekerasan senior terhadap junior di STIP telah terjadi sejak lama dan turun menurun. "Jadi, diperlukan tindakan khusus untuk menghentikan kekerasan yang sudah mentradisi ini," ujarnya. Untuk itu pihaknya akan menonaktifkan Ketua STIP Rusman Hoesien, Rabu (18/6) dan menunjuk Kepala Pusat Diklat Perhubungan Laut Badan Diklat Dephub Djoko Pramono ditunjuk sebagai pelaksana tugas Ketua STIP.

Ditegaskan Dedi, penonaktifan Rusman terkait upaya lembaganya untuk melakukan investigasi lanjutan tim Gugus Tugas tersebut. "Karena Tim Gugus Tugas ini juga akan melibatkan secara penuh Ketua STIP Rusman Hoesein. Terutama dalam melakukan penyelidikan," jelasnya. Sementara itu, katanya, pihaknya juga telah menginstruksikan manajemen STIP untuk memecat taruna-taruna senior mereka yang terlibat dalam tindak kekerasan terhadap junior. Hingga saat ini, sedikitnya telah 10 taruna STIP yang dipecat, termasuk tiga orang taruna yang telah ditetapkan pihak kepolisian sebagai tersangka dalam kasus penganiayaan yang menewaskan taruna tingkat II, Agung Bastian Gultom.

Dedi memaparkan, berdasarkan penelitian pihaknya, terjadinya tindak kekerasan di STIP antara lain akibat lemahnya sistem pengawasan terhadap aktivitas taruna, terutama saat menjalani pendidikan ekstrakurikuler. "Seperti latihan drum band, Pedang Pora, baris-berbaris, dll, yang melibatkan taruna senior sebagai instruktur. Atau pada waktu-waktu tertentu lainnya, di mana saat itu taruna sebenarnya diwajibkan untuk beristirahat," ujarnya.

Minimnya jumlah personel petugas pembina taruna dan kemampuan yang memadai sebagai pembina taruna, kata Dedi, menjadi salah satu penyebab lemahnya pengawasan. "Personel pengawas yang hanya berjumlah puluhan saat ini, dituntut untuk mengawasi tak kurang dari 860 taruna di asrama dan kampus," lanjutnya.

Kendati untuk menutupi minimnya jumlah personel pengawas telah dipasang kamera CCTV di sejumlah titik, pengawasan tetap tidak berjalan optimal. Tak hanya itu, pihak sekolah juga memperketat pengawasan dengan melibatkan sejumlah personel TNI AL; memisahkan tempat makan dan ruang belajar taruna tingkat IV, II dan I; mengubah sistem pengawasan; hingga mengisi kegiatan taruna dengan kegiatan-kegiatan positif untuk menghilangkan peluang taruna melakukan kegiatan-kegiatan menyimpang.

"Tetapi tetap saja mereka (taruna) punya celah untuk melakukan aksi kekerasan, karena aksi ini sudah menjadi budaya yang turun temurun dari angkatan terdahulu," katanya.

Bentuk aksi kekerasan senior terhadap para juniornya itu, kata Dedi, cukup beragam. Yaitu mulai aksi kekerasan ringan hingga kategori keras, yang mayoritas relatif didasari pada ketidakpuasan taruna senior terhadap prilaku taruna junior. "Atau dalam hal taruna junior tidak dapat melaksanakan tugas dengan baik, atau ketika dia tidak menaati perintah senior."

Aksi ini sendiri tidak hanya melibatkan taruna pria, namun juga para taruna wanita (taruni) STIP. "Aktivitas penghukuman selalu dilakukan secara diam-diam dan cenderung dikondisikan agar lolos dari pengawasan pembina, misalnya dilakukan pada jam-jam istirahat," lanjut Dedi.

Terkait upaya menghentikan budaya kekerasan di STIP, menurut Dedi, pihaknya telah menyiapkan sejumlah kebijakan. Antara lain tidak lagi mengasramakan taruna tingkat IV, yang paling mendominasi aksi kekerasan dengan superioritasnya sebagai senior, dan memperpendek masa pendidikan dan pelatihan pelaut yang berorientasi pada pemenuhan persyaratan kompetensi.

"Sehingga taruna hanya berada di asrama selama masih berada di tingkat I dan II. Saat masuk tingkat III, mereka akan menjalani magang berlayar selama setahun. Kemudian, sekembalinya dari magang, apabila ingin melanjutkan ke Diploma IV, mereka tidak harus berada di asrama," jelas Dedi.

Seiring dengan itu, lanjutnya, pengawasan terhadap taruna tingkat I dan II di asrama akan diperketat. Dengan lebih kecilnya jumlah taruna yang diawasi, maka pengawasan diyakini akan berjalan lebih efektif.

Stop Penerimaan Calon Taruna
Selain sejumlah kebijakan di atas, Dedi menambahkan, saat ini tengah dibahas pula kemungkinan untuk menghentikan sementara penerimaan calon taruna baru STIP untuk tahun akademik 2008/2009, kecuali pendaftar untuk program Officer Plus 60 yang akan diselenggarakan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Mauk, Tangerang, Banten. Dijelaskan, upaya ini ditujukan untuk memutus rantai kekerasan pada tahun ajaran mendatang.

Dedi sendiri mengatakan, apa yang dilakukan pihaknya tersebut tidak menjamin bahwa potensi kekerasan di STIP akan hilang seketika. "Tetapi, semaksimal mungkin kita upayakan untuk mempersempit celah tersebut melalui kebijakan-kebijakan yang akan kami terapkan ke depan," tegasnya.

Selain menonaktifkan Ketua STIP Rusman Hoesien, sebelumnya Badan Diklat juga telah merombak struktural manajemen STIP Jakarta, dengan mengganti sejumlah pejabatnya, pada 27 Mei lalu. Struktural yang dirombak tersebut antara lain posisi Pembantu Ketua (Puket) II Bidang Administrasi dan Umum, Puket III Bidang Ketarunaan, Kepala Bagian Administrasi dan Umum, serta tiga pejabat eselon IV di bidang ketarunaan, administrasi dan tenaga didik.

Sementara itu, sejumlah taruna tingkat I STIP yang diwawancari di asrama mereka, juga mengharapkan pola-pola kekerasan fisik di sekolah mereka bisa dihapuskan. "Senioritas, menurut saya baik dan perlu. Tetapi, itu tidak perlu ditunjukkan dengan aksi kekerasan yang menurut saya ugal-ugalan.. Banyak hal-hal atau metode lain yang bisa diterapkan, yang jauh lebih mendidik," ujar Jenier Siborani.

Jenier sendiri mengaku, selama sekitar setahun mengenyam pendidikan di STIP, dirinya belum pernah menjadi bulan-bulanan seniornya. "Kebetulan, saya jarang berinteraksi langsung dengan senior. Saya memang pernah dapat hukuman dari senior, seperti disuruh push up dan lain-lain, tetapi tidak sampai dipukul," imbuh pemuda 20 tahun asal Medan, Sumatera Utara tersebut.

Demikian pula yang diungkapkan Rio. Taruna asal Jakarta berusia 18 tahun ini mengungkapkan harapan senada dengan rekannya tersebut. "Saya tahu pola pendidikan di sini adalah semi militeristik. Saya menilai itu bukan bentuk kekerasan, tetapi sebagai pola-pola pendidikan yang menekankan kedisplinan kepada taruna. Tetapi, kalau boleh memilih, saya lebih memilih untuk tidak menerapkan pola pendisiplinan melalui kekerasan fisik," harapnya.

Menjadi Incaran
Sebelum menjadi sekolah tinggi, lembaga pendidikan yang menerapkan pola pendidikan semi militeristik ini bernama Akademi Ilmu Pelayaran (AIP). AIP yang didirikan 27 Februari 1957, kemudian berganti nama menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) pada 27 Februari 2004. Hingga saat ini, lembaga tersebut telah menelurkan sebanyak 5.810 lulusan untuk jurusan Ahli Nautika, Ahli Teknika dan Ketatalaksanaan Angkutan Laut dan Kepelabuhanan.

Dijelaskan Dedi Darmawan, STIP merupakan sekolah tinggi yang lebih menitikberatkan pada penciptaan lulusan berkopentensi di bidangnya. Yaitu di mana porsi praktik jauh lebih besar dibandingkan teori. Selama masih menjalani profesi sebagai pelatu, lulusan STIP tetap akan terikat pada kegiatan diklat (refreshing, upgrading dan recurrent) untuk mempertahankan dan meningkatkan kompetensi yang dimiliki.

Salah satu model pelatihan yang bertujuan membentuk kedisiplinan dan tanggung jawab serta integritas, adalam Pembinaan Kesamaptaan jasmani dan rohani dengan kejelasan tujuan dan terukur. "Sesuai tata tertib, kekerasan sekecil apa pun tidak ditolerir di STIP. Karena itu, ketika ada yang kedapatan melakukan kekerasan, sanksinya jelas, yaitu pemecatan," tegasnya.

Ditegaskannya pula, para lulusan STIP menjadi salah satu incaran perusahaan-perusahaan pelayaran baik domestik maupun internasional. Bahkan, katanya, berdasarkan survey yang dilakukan dua lembaga kepelautan internasional, SDM pelaut Indonesia menjadi salah satu yang terbaik.

Saat ini, Dedi mengungkapkan, kebutuhan SDM pelaut di dunia hingga 2014 mendatang mencapai hingga 40 ribu orang. "Indonesia menjadi salah satu negara yang diandalkan dalam menciptakan kader pelaut untuk memenuhi kebutuhan tersebut," ungkapnya.

Terpisah, Rusman Hoesien menambahkan, dari dari total 178 taruna tingkat II yang akan naik ke tingkat III, sebanyak 60 persen di antaranya telah diterima di sejumlah perusahaan internasional untuk melakukan magang selama setahun.

"Selama tingkat III, taruna mengisi waktunya dengan magang. Kembalinya dari magang, barulah mereka meneruskan ke tingkat IV. Kalau tidak mau meneruskan, mereka bisa melanjutkan bekerja di perusahaan tempat mereka magang. Karena biasanya, perusahaan itu meminta mereka untuk langsug bekerja di sana," jelasnya. (DIP