Pesawat gagal berhenti pada landasan pacu 09. Pesawat meluncur melewati batas ujung landasan dan stop way dan tetap meluncur melewati lapangan rumput serta jalan. Ketika pesawat keluar dari airport perimeter, pesawat menabrak pagar besi Bandara, kemudian roda utama pesawat menabrak tanggul pada jalan tersebut dengan kecepatan yang cukup tinggi. Kejadian tersebut menyebabkan kedua mesin dan kedua roda pendarat utama terlepas dari pesawat dan pesawat tetap dalam keadaan meluncur dengan kecepatan cukup tinggi. Sambil pesawat terus meluncur, sayap kanan membentur tanah persawahan dan patah, yang kemudian terlempar ke arah kiri pesawat, sehingga bertumpuk pada sayap kiri. Kemudian pesawat berhenti di persawahan diikuti dengan timbulnya api yang cepat menjadi besar.


Berdasarkan keterangan saksi mata, seorang pilot TNI AU, serta beberapa petugas Air Traffic Controller (ATC), mengetahui bahwa pesawat saat melakukan pendaratan terlihat masih terlalu tinggi di atas landasan pacu dan dalam kecepatan cukup tinggi (tidak seperti biasanya). Kemudian pesawat turun dengan sudut kemiringan yang cukup curam dan diketahui bahwa sikap pesawat dalam keadaan tidak stabil (oleng). Pesawat mendarat pada daerah touchdown zone atau kurang lebih 650 meter dari ujung landasan pacu 09 (menurut perhitungan data FDR diketahui kurang lebih 850 meter). Setelah menyentuh landasan pesawat mengalami bounching sebanyak 2 (dua) kali dan ketika menyentuh landasan untuk yang ketiga kali, pesawat berada di sekitar exit D (Delta/di tengah landasan) kemudian roda pendarat depan patah yang mengakibatkan pesawat meluncur dengan batang roda pendarat (shock strut). Hal tersebut menyebabkan terjadinya gesekan logam dengan landasan yang menimbulkan percikan api di sepanjang sisa landasan pacu.


Percikan api yang timbul akibat gesekan tersebut terlihat jelas oleh para petugas ATC dan pemadam kebakaran TNI AU. Petugas ATC segera membunyikan crash bell dan bersamaandengan itu 3 (tiga) mobil pemadam kebakaran dari Bandara dan TNI AU meluncur menuju pesawat yang terbakar. Ketika mobil pemadam kebakaran Bandara mencapai ujung landasan, mobil tidak dapat mendekat karena terhalang oleh pagar Bandara yang cukup tinggi dan jalan yang curam. Petugas berusaha menyemprotkan foam dengan menyambung beberapa selang agar dapat mencapai
pesawat.


Satu unit mobil pemadam kebakaran berputar balik melalui apron dan berjalan melalui jalan raya (lingkar luar bandara) menuju lokasi pesawat yang terbakar. Untuk mencapai lokasi pesawat dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan tindakan darurat. Letak atau posisi berhentinya pesawat kurang-lebih 130 meter dari jalan atau 165 meter dari ujung lapangan rumput, oleh karena itu para petugas pemadam kebakaran tidak dapat langsung menyemprotkan air atau foam ke sumber api atau bagian yang telah terbakar cukup besar.


Korban



FDR (Flight Data Recorder) dan CVR (Cockpit Voice Recorder)
Kedua black boxes (FDR dan CVR) diketemukan pada tanggal 7 Maret 2007, siang hari. Kondisi FDR dan CVR ditemukan dalam keadaan terbakar. Tanggal 9 Maret 2007 kedua black boxes dibawa oleh pihak Australian Transport Safety Bureau (ATSB) menuju Canberra, Australia dengan pesawat khusus, atas persetujuan KNKT untuk pembacaan dan analisis. Black boxes tiba di Canberra, Australia sekitar pukul 07.00 waktu Canberra, tanggal 10 Maret 2007. Kedua black boxes langsung dibawa oleh petugas ATSB untuk dibuka dan dibaca yang disaksikan oleh petugas Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra, Australia. Beberapa data FDR dapat dibaca dengan baik, tetapi sebagian data, seperti : Glide slope dan engine data (EFIS dan EIS data) hingga hari Jumat, 9 Maret 2007 belum dapat dibaca, karena FDR yang terpasang di pesawat PK-GZC diperuntukkan bagi pesawat non EFIS, sedangkan pesawat tersebut menggunakan EFIS. Ketidaksesuaian tersebut menyebabkan mismatch, sehingga DFDAU (Digital Flight Data Aquesition Unit) menjadi lockup dan data tersebut tidak terekam dalam FDR.


Pada saat CVR dibuka di laboratorium ATSB, diketahui bahwa sebagian dari electronic board CVR terbakar sehingga proses pengambilan data tidak dapat dilakukan di laboratorium ATSB. Electronic board CVR dibawa ke pabrikan, Honeywell di Seattle Amerika Serikat. Tanggal 15 Maret 2007 waktu Amerika dilakukan penggantian dan me-reset CVR, sehingga CVR berhasil dibaca. Hasil pembacaan langsung dibawa kembali ke Canberra Australia untuk selanjutnya dianalisis dan dibuatkan transkripnya oleh tim KNKT di Canberra, Australia.


Kerangka Pesawat
Pengambilan data pada kerangka dan komponen pesawat yang terlepas dari pesawat di lokasi kejadian telah selesai dilaksanakan. Seluruh sisa kerangka dan komponen pesawat dipindahkan ke suatu tempat di lingkungan TNI AU di Yogyakarta, guna penyelidikan lebih lanjut.


Wawancara/Interview
Wawancara/interview dengan pilot dan co-pilot telah dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 10 Maret 2007 di Yogyakarta. Wawancara dengan petugas ATC yang mengetahui dan melihat pesawat saat akan melakukan pendaratan juga telah dilaksanakan. Wawancara berlangsung dengan baik dan lancar. Berdasarkan ketentuan dalam ICAO Convention Annex 13, seluruh catatan dan hasil perekaman wawancara yang telah dilakukan tidak dapat diungkapkan atau dituangkan dalam laporan awal ini.


Catatan Penting Tentang Data Lapangan



  1. Berdasarkan keterangan saksi mata, pilot TNI AU dan beberapa petugas ATC, pesawat mendarat dalam kecepatan yang cukup tinggi (tidak seperti biasanya) dan sudut kemiringan pesawat terhadap landasan pacu terlihat cukup curam. Keterangan saksi tersebut mempunyai kecocokan dengan data FDR, yaitu : kecepatan pesawat saat mendarat lebih cepat dari normalnya, dimana seharusnya kecepatan pendaratan dengan berat pesawat (landing weight) saat itu adalah ±130 Knot dengan flap 40 degree ;
  2. Pesawat mengalami patah roda pendarat depan sesaat setelah mengalami bouncing dan mengeluarkan api sepanjang sisa landasan pacu; Pesawat menarak tanggul pemisah jalan raya lingkar Bandara yang terletak kurang- lebih 115 meter dari ujung landasan pacu 09 dan menyebabkan kedua roda pendarat utama dan kedua mesin terlepas;
  3. Sayap pesawat menyentuh tanah di area persawahan yang menyebabkan sayap kanan patah dan terlempar ke arah sayap kiri dan ketika terlempar melewati badan pesawat menyebabkan bahan bakar tumpah dan tersebar di area persawahan. Akibatnya pesawat terbakar dengan cepat dan menimbulkan banyak korban jiwa;
  4. Berdasarkan ICAO Convention, Annex 14, Bandar Udara Adi Sucipto, Yogyakarta termasuk dalam kode number runway 3 dan 4 yang direkomendasikan memiliki minimum panjang RESA (Runway End Safety Area) 240 m. Diketahui bahwa Bandara Adi Sucipto belum memiliki RESA dengan panjang tersebut;
  5. Mobil pemadam kebakaran tidak dapat langsung menuju ke lokasi pesawat yang terbakar, karena terhambat oleh pagar dan jalan yang menurun tajam. Unit pemadam kebakaran harus berjalan berputar dan membutuhkan waktu cukup lama, sehingga api terus membesar dan tidak terkendali;
  6. Pelaksanaan Airport Emergency Plan tidak sesuai dengan petunjuk pelaksanaan/manual yang ada. Pada lokasi kejadian tidak ada triage untuk mencatat dan pemberian label (hitam, kuning, dan sebagainya) pada setiap korban;
  7. Petugas Bandara yang menangani keadaan darurat terkesan kurang terlatih dalam menangani kecelakaan yang terjadi di luar airport perimeter. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama ini latihan peragaan gawat darurat (PGD) kurang efektif.

Rekomendasi
Untuk meningkatkan keselamatan penerbangan nasional, KNKT mengusulkan beberapa rekomendasi di bawah ini :



  1. Mewajibkan setiap bandar udara dengan kode number runway 3 dan 4 memiliki RESA yang sesuai dengan aturan standar ICAO Convention, Annex 14;

  2. Perlu mengkaji ulang pelaksanaan Airport Emergency Plan (AEP) dan agar diwajibkanmelakukan latihan penanganan keadaan darurat secara real time, serta melengkapi peralatan sesuai dengan ICAO Annex 14 paragraph 9.1.14, 9.2.2 dan KM47;

  3. Mewajibkan operator untuk mereview dan memeriksa perawatan terhadap FDR agar dilakukan functional check annually untuk meyakinkan bahwa unit tersebut bekerja dan merekam data penerbangan dengan benar, sesuai dengan CASR 121.343;

  4. Mewajibkan operator pesawat udara untuk menerapkan program ALAR (Approach & Landing Accident Reduction) dan FOQA (Flight Operation Quality Assurance);

  5. Perlu dilakukan assessment kepada para key personnel dari operator pesawat dan Bandara oleh tim yang independen untuk menentukan kelayakan mereka. (jabrt)