”Pola ini sudah dijalankan oleh sejumlah negara,” sambung Budhi. Salah satunya adalah Pemerintah Saudi Arabia yang memberikan kewenangan kepada Bin Ladin Group untuk mengelola Bandara Internasional King Abdulaziz di Jeddah. Pengelolaan bandara yang seimbang antara swasta dan pemerintah ini juga sudah dipraktekkan di Bandara Schippol di Belanda.

”Sifatnya pengelolaan manajemen bisnis dan tetap mengutamakan keselamatan dan keamanan,” lanjutnya. Tetapi yang masuk wilayah udara, menurut Budhi, tetap ditangani oleh pemerintah karena terkait dengan pelaksanaan keselamatan penerbangan. Untuk menjaga independensi regulator, sektor ini akan dikelola pemerintah melalui lembaga Badan Layanan Umum (BLU).

Keterbukaan bagi pihak swasta yang dimaksud dalam UU baru itu, menurut Menteri Perhubungan, juga menegaskan peran swasta dan pemerintah daerah untuk mengelola Bandara sesuai dengan konsep otonomi daerah. ”Ada azas keseimbangan dan kompetisi yang sehat, serta pemda dituntut untuk transparan dan akuntabel,” urainya.

Sementara Ketua Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Emirsyah Satar yang turut menghadiri sosialisasi tersebut mengatakan, penerbitan UU 1/2009 menurutnya, memberikan dukungan yang kuat bagi industri penerbangan nasional untuk meningkatkan performanya ke depan. Dia menilai, aturan-aturan baru yang banyak mengadopsi capetown convention, memberikan ruang gerak bagi swasta berkembang lebih maju dengan tetap mengutamakan persaingan bisnis yang sehat dan standar keselamatan yang ideal.

Salah satunya adalah aturan tentang persyaratan pembentukan maskapai penerbangan baru yang mewajibkan untuk mengoperasikan 10 unit pesawat yang terdiri dari minimal lima pesawat sendiri, plus lima pesawat sewaan. Menhub mengatakan, UU ini menginginkan upaya konsolidasi dari maskapai penerbangan. Oleh sebab itulah, maskapai-maskapai kecil juga diminta bergabung atau merger untuk meningkatkan performa.

Emir menambahkan, di sisi lain, tetap tingginya tingkat kepercayaan investor dan leasor (pemilik) pesawat terbang yang menawarkan pesawatnya ke Indonesia bisa menjadi sinyal positif untuk mendorong pertumbuhan industri penerbangan nasional seperti yang diharapkan. Indonesia, menurutnya, masih dilihat sebagai pasar yang potensial dibandingkan negara-negara lain seperti India maupun Cina.

”India sangat jatuh terkena dampak krisis global. Cina juga tidak bisa naik seperti yang diharapkan. Kepercayaan leasor yang masih kuat menjadi kebanggan tersendiri. Ini sinyal, artinya airlines kita masih positif dan punya banyak harapan untuk berkembang,” paparnya. Emir pun optimistis, kendati tidak terlalu signifikan, pertumbuhan industri penerbangan tahun ini bisa lebih tinggi dari tahun lalu. (DIP)