Dirjen Perhubungan Udara Departemen Perhubungan Budhi M. Suyitno mengatakan penolakan itu karena mahkamah penerbangan tak dikenal dalam regulasi penerbangan internasional. "ICAO [International Civil Aviation Organization] tak mengenal istilah mahkamah penerbangan, yang ada adalah regulasi Annex 1 tentang lisensi personel," katanya seusai rapat dengar pendapat dengan Komisi V DPR, kemarin.

Selama ini, menurut dia, Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara (DSKU) Ditjen Perhubungan Udara Dephub telah melaksanakan aturan yang ada di Annex 1 untuk memberikan sanksi profesi. Selama direktorat itu melaksanakan regulasi melalui penerapan kebijakan ketat dalam hal penerbitan lisensi personel penerbangan, berarti proses peradilan profesi telah ditegakkan. "Jadi, kalau dari pihak regulator melaksanakan Annex 1 sudah tak ada masalah lagi dengan sanksi profesi," ujarnya.

Namun, lanjut Budhi, pihaknya siap menerima usulan ketiga asosiasi profesi penerbangan sipil itu untuk diterapkan secara lokal. "Tapi harus dibicarakan terlebih dahulu dengan berbagai pihak," tambahnya.

Ketiga asosiasi profesi itu yakni Federasi Pilot Indonesia (FPI), Asosiasi Pilot Garuda (APG), dan Asosiasi Pemandu Lalu Lintas Udara Indonesia (Indonesia Air Traffic Controller Association/IATCA).

Tiga asosiasi profesi itu mendesak pemerintah segera membentuk mahkamah penerbangan yang bersifat independen dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Mengacu kasus Garuda

Desakan itu mengacu penetapan tersangka oleh Kepolisian RI terhadap pilot Garuda GA-200 Marwoto Komar dalam kasus kecelakaan pesawat di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta.

"Kami minta segera dibentuk mahkamah penerbangan yang bertanggung jawab langsung kepada presiden," kata Presiden FPI Manotar Napitupulu seusai mendeklarasikan penolakan kriminalisasi pilot di Jakarta.

Mahkamah penerbangan, menurut dia, bertugas menangani kasus profesi sebelum kasus pidana ditangani Kepolisian.

Mahkamah itu beranggotakan para ahli, praktisi, akademisi, dan pemangku kepentingan di industri penerbangan. "Permintaan itu juga sudah kami sampaikan kepada DPR," kata Manotar.

Selama ini, pilot dan petugas Air Traffic Controller selalu dibayangi dakwaan pidana jika mereka mengalami kecelakaan, seperti yang menimpa pilot GA-200 tersebut.

Untuk itu, Manotar menyatakan FPI, APG, dan IATCA secara tegas menolak kriminalisasi terhadap pilot karena tindakan itu bisa memengaruhi keselamatan penerbangan.

"Kami menolak membawa pilot dalam wilayah pidana yang belum jelas karena pilot adalah wilayah profesi."

Seharusnya, masalah kasus profesi harus diselesaikan dalam ranah profesi bukan ranah pidana. Indonesia, kata Manotar, telah menjadi anggota International Civil Aviation Organization (ICAO) yang mengadopsi ICAO Annexes, termasuk Annex 13 tentang Aircraft Accident Investigation.

"Sebagai anggota penandatanganan kontrak, Indonesia sudah mempunyai lex specialis berupa ICAO Annexes yang telah diratifikasi oleh negara kita," kata Manotar.

Presiden IATCA Andri Gunawan Wibisono menambahkan pihaknya juga mengusulkan pembentukan mahkamah penerbangan dipercepat untuk menyelesaikan kasus penerbangan.

Selama ini, ungkapnya, tidak jelasnya sanksi yang digelar melalui persidangan profesi mengakibatkan profesi pilot dan pemandu lalu lintas tak diminati lagi. "Kami ingin kesalahan di penerbangan itu diserahkan kepada mahkamah penerbangan karena sanksi kepada petugas itu terkait profesi," kata Andri.

Presiden APG Capt. Stefanus juga menyatakan kriminalisasi pilot akan berdampak buruk kepada profesi pilot di Indonesia.

Sumber : Bisnis Indonesia, 13 November 2007