Direktur Angkutan Udara Departemen Perhubungan Tri S. Sunoko mengatakan regulasi itu akan ditetapkan dalam peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub).

"Aturan itu untuk memberi kepastian standar pelayanan minimum dan perlindungan kepada konsumen maskapai penerbangan nasional," ujarnya akhir pekan lalu.

Permenhub itu juga akan mengatur sistem penarifan maskapai full service dan LCC dikaitkan dengan standar pelayanan minimum angkutan udara di mana nantinya terdapat dua mekanisme yang mengatur tarif batas atas dan tarif referensi.

Sampai saat ini, belum ada aturan yang menegaskan tentang SPM sehingga standar itu diatur oleh setiap operator. Dengan keluarnya aturan tersebut, maka Indonesia secara tidak langsung mengakui keberadaan LCC.

Pemerintah juga berencana melengkapi infrastruktur industri pendukung seperti pembangunan terminal khusus LCC dan penyediaan bandara sekunder.

"Sampai saat ini, Indonesia belum punya, kami berkeinginan menjadikan bandara Pondok Cabe sebagai secondary airport." Secondary airport adalah bandara kedua yang menawarkan tarif landing lebih murah, ground handling murah, tapi jarak dengan kota jauh.

Tri menyatakan jika SPM telah diatur tersendiri, konsep maskapai LCC akan diakui oleh Indonesia dan bisa diterapkan di airline LCC.

Pangkas subkelas

Kasubdit Angkutan Udara Dalam Negeri pada Ditjen Perhubungan Udara Dephub Hemi Pamuraharjo menambahkan pihaknya akan memangkas 12 subkelas kursi yang diterapkan maskapai nasional.

"Pemangkasan itu akan dilakukan dari biasanya 12 subkelas menjadi 5 subkelas saja," kata Hemi.

Pemangkasan subkelas itu menyusul keluhan masyarakat yang membeli tiket tapi dengan harga beda.

Selama ini, aturan subkelas kursi yang dijual di luar negeri mengacu waktu pemesanan tiket sehingga pelanggan yang memesan tiket jauh hari akan mendapatkan harga tiket lebih murah dibandingkan dengan pemesanan mendadak.

Terkait dengan penetapan kompensasi keterlambatan (delay) kepada penumpangnya akibat faktor internal, Hemi menyatakan terdapat tiga jenis kompensasi yang wajib diberikan.

Pertama, untuk keterlambatan mulai 30 menit sampai 90 menit, maskapai harus memberikan refreshment. Kedua, lebih dari 90 menit hingga 180 menit, wajib memberikan makan sesuai waktunya, seperti jika sudah waktu makan siang atau malam maskapai wajib memberi kompensasi makan.

Ketiga, 180 menit ke atas, penumpang berhak mendapat fasilitas akomodasi atau penginapan. Dengan catatan, ketika itu sudah tidak ada penerbangan lanjutan.

Usulan kompensasi ini masih dikaji di internal Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dan baru akan dikomunikasikan kepada Direktur Jenderal Perhubungan Udara setelah konsepnya matang.

Disebutkan juga, kewajiban kompensasi hanya berlaku untuk setiap kesalahan teknis dan operasi maskapai, di luar itu operator tidak diwajibkan mengganti pelayanan apa pun pada penumpang. Namun, operator dipersilakan jika tetap ingin memberikan kompensasi karena akan menjadi nilai promosi bagi maskapai tersebut.

Sekjen Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Tengku Burhanuddin menyatakan SPM sebaiknya hanya difokuskan pada penyeragaman tingkat keselamatan dan keamanan penerbangan.

Sumber : Bisnis Indonesia, 18 Februari 2008