”Keputusannya, jika tidak mau (mengangkut) , maka mereka tidak boleh membongkar muatan mereka. Itu konsekwensinya. Jadi, kita tetap pada apa yang telah kita putuskan, tidak ada perubahan. Mereka harus terima itu,” jelas Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal, di gedung Dephub Kamis (13/11) malam. ”Ada impor, tentu harus ada ekspor. Kalau mereka tidak mau mengangkut, mereka tentu akan rugi sendiri,” imbuhnya.

Keputusan tersebut, jelas Menhub, merupakan keputusan bersama Tim Keppres 54 tentang Kelancaran Arus Barang di Pelabuhan. Rapat yang dipimpin Menhub tersebut dihadiri antara lain Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum dan Perundang-undangan Lambock V Nahattands, Dirjen Bea Cukai Anwar Suprijadi, serta Administrator Pelabuhan Tanjung Priok Bobby R Mamahit, termasuk perwakilan perusahaan pelayaran dan pemilik barang dalam negeri.

Rapat juga memutuskan untuk memberi kewenangan kepada Adpel Tanjung Priok Bobby R. Mamahit untuk melaksanakan hasil rapat termasuk melaporkan perkembangan yang terjadi di pelabuhan terbesar di Indonesia itu. ”Adpel juga diberikan tugas mencari alternatif kapal lain untuk membawa kontainer ekspor yang masih tertinggal di JICT (Jakarta International Container Terminal),” kata Menhub.

Menhub Jusman menyatakan, biaya surcharge yang kini ditetapkan akan dievaluasi setiap tiga bulan. ”Ke depan surcharge akan disatukan dengan ocean freight sehingga tak ada lagi THC yang ada CHC dan ocean freight,” paparnya.

Sementara itu, Bobby R Mamahit menjelaskan, ada empat asing yang melakukan penolakan. Yakni MV Apollon I (Manila) yang diageni Evergreen Indonesia, MV CMACGM Dardaweles (Fremantle, Australia) yang diageni CMA Indonesia, MV Ever Power (Hongkong) yang diageni Evergreen Indonesia, dan MV Wan Hai-215 (China) yang diageni Tresnamuda Sejati.

Penolakan keempat kapal itu merupakan respons atas ketetapan baru Departemen Perhubungan terhadap besaran biaya terminal handling charge (THC) untuk peti kemas 20 feet di Tanjung Priok sebesar US$95 per boks. Besaran THC terdiri dari container handling charge (CHC) US$83 dan biaya tambahan (surcharge) sebesar US$12. Sedangkan untuk peti kemas ukuran 40 feet, tarif THC yang ditetapkan sebesar US$145 per boks, terdiri dari CHC sebesar US$124,5 dan surcharge sebesar US$20,5.

Penetapan besaran tarif THC itu ditentang oleh kalangan usaha pelayaran asing. Alasannya adalah karena tidak dimasukkannya komponen pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen atas jasa pelayanan peti kemas. Sebagai bentuk protes, kapal-kapal itu hanya mau membongkar peti kemas impor. Sedangkan peti kemas ekspor yang sudah terjadwal tidak bersedia mereka angkut.

Akibat penolakan yang dilakukan keempat kapal asing sejak Selasa (11/11) tersebut, sebanyak 2274 TEUs barang tidak terangkut. ”Tetapi mulai hari ini keempat kapal itu sudah mau mengangkut. Sampai (Kamis) sore tadi, tinggal 1500 TeUS yang terdiri dari 998 peti kemas yang masih tertahan di JICT,” jelasnya.

Untuk mengangkut boks-boks kontainer yang tertinggal itu, lanjut Bobby, telah ada dua dua kapal asing yang siap mengangkut. ”Yaitu Hyundai (Korea) dan Cosco (Tiongkok), dengan ketetapan THC yang baru,” ujarnya. Ditambahkan Bobby, dirinya diberikan batas waktu selama dua hari untuk memberangkatkan peti kemas ekspor yang menumpuk di JICT tersebut. Selain itu, dia juga ditugaskan untuk berkomunikasi dengan para agen pelayaran asing untuk mencari tahu duduk permasalahan mengapa kapal yang mereka ageni tak mau mengangkut kontainer ekspor. (DIP)