MELBOURNE (18/4) – Indonesia melalui Kementerian Perhubungan menghadiri Pertemuan Indonesia – Australia Transport Sector Forum yang pada tahun ini diselenggarakan oleh Department of Infrastructure Regional Development and Cities Australia, guna mengevaluasi program-program kerjasama bilateral antara Indonesia dan Australia yg sudah berjalan dan membahas rencana program kerjasama mendatang.

Pada pertemuan yang diselenggarakan pada tanggal 17-18 April 2018 di Melbourne, Australia ini, Delegasi Indonesia diketuai oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan, Sugihardjo. Sedangkan delegasi Australia dipimpin oleh Dr. Kenedy, Sekretaris Jenderal Ministry of Infrastructure, Regional Development and Cities, Australia.

Turut hadir pada pertemuan dimaksud, perwakilan dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang dipimpin oleh Direktur Kenavigasian, Sugeng Wibowo, bersama dengan perwakilan dari Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Laut, Direktorat Perkapalan dan Kepelautan, serta Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai.

Hari pertama dari pertemuan tersebut, Delegasi Indonesia dibawa untuk melakukan kunjungan ke fasilitas Search and Rescue (SAR) yang berada di bandara Accendon, Tullamarine dan SAR Aviation Tranining di AMSA Melbourne oleh Chief Executive Officer (CEO) Australian Maritime Safety Authority (AMSA), Mr. Mick Kinsley. Pada kunjungan dimaksud, delegasi Indonesia mendapatkan penjelasan terkait penggunaan 4 pesawat pencari (search aircraft) jenis Bombardier Challenger CL-604 milik Cobham Aviation Service, yang telah dimodifikasi sedemikian rupa untuk menjadi pesawat khusus pencari target korban kecelakaan di laut yang sangat membantu sebagai bagian dari poses SAR di Australia serta training-training yang dilaksanakan di bawah pengawasan AMSA.

Selanjutnya, pada rapat yang dilaksanakan pada hari kedua pertemuan, Sugeng menyampaikan, bahwa di bidang maritim, khususnya maritime safety, kerjasama bilateral antara Indonesia dan Australia telah terjalin dengan baik sejak tahun 2008 di bawah kerangka Indonesia Transport Safety Assistance Package (ITSAP). Kerjasama di bawah kerangka ITSAP tersebut antara lain meliputi kerjasama di bidang capacity building terkait Non Convention Vessel Standard (NCVS), IMDG Code Training, PSC Training for Officer, Survey for Live Saving Appliances (LSA), VTS Operator Training, Pilotage Management dan sebagainya.

“Kerja sama yang telah berlangsung selama 10 tahun ini kita harapkan dapat terus berlangsung baik dan semakin mempererat hubungan bilateral Indonesia dan Australia. Oleh karena itu, kita terus melakukan evaluasi terhadap program-programnya setiap tahun,” ujar Sugeng.

Pada pertemuan ini, Mr. Mick Kinsley menyampaikan perkembangan Joint Declaration on Maritime Cooperation Plan of Action antara Indonesia dan Australia yang telah ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri kedua negara pada tanggal 26 Februari 2017 yang lalu di Sydney. Kerjasama ini meliputi berbagai program kegiatan pelatihan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

Sedangkan Indonesia menyampaikan usulan untuk meningkatkan kerjasama terkait keselamatan kapal-kapal perintis yang melayani wilayah Indonesia bagian Timur. Hal ini menurut Sugeng berkaitan erat dengan keinginan Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan standar keselamatan pelayaran kapal Indonesia dalam rangka mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia.

“Kita juga meminta dukungan Australia terhadap usulan Penetapan TSS Selat Lombok dan Selat Sunda yang akan diusulkan pada Sidang NCSR IMO ke-6 tahun depan,” tambah Sugeng.

Terkait isu maritime safety, untuk program kerjasama ke depan, Indonesia berharap Australia dapat membagikan pengalamannya terkait Self-Propelled Oil Barge (SPOB) yang digunakan khususnya untuk transportasi bahan bakar atau produk minyak lainnya ke wilayah terpencil. Penggunaan SPOB ini menurut Sugeng tidak dapat dihindari, seiring dengan perkembangan wilayah terpencil di Indonesia. “Saat ini sudah terdapat 457 kapal dengan SPOB,” jelas Sugeng.

Australia juga diharapkan dapat berbagi pengalamannya dalam menangani Kapal Fiberglass berbahan bakar bensin yang banyak digunakan sebagai kapal penumpang dan kapal wisata. Hal ini berhubungan dengan banyaknya kecelakaan kapal jenis tersebut yang terjadi di Indonesia baru-baru ini.

“Kita mengetahui bahwa Australia memiliki banyak kapal jenis ini, sehingga kita berharap dapat belajar dari Pemerintah Australia dalam menangani kapal tersebut,” kata Sugeng.

Indonesia juga berharap dapat belajar lebih banyak dari Australia untuk memperkuat petugas Port State Control (PSCO) Indonesia untuk memastikan keamanan dan keselamatan kapal-kapal Indonesia beserta peralatan dan pelautnya.

“Selain itu, Indonesia juga mengharapkan asistensi Australia dalam pengembangan Traffic Separation Scheme (TSS) dan Ship Reporting System (SRS) untuk Selat Sunda dan Selat Lombok, Pelatihan Deep Sea Pilotage, serta dukungan dalam mengembangkan pelayaran perintis sejalan dengan pengembangan standar kapal non konvensi/NCVS,” tukas Sugeng.

Indonesia juga mengharapkan asistensi dari Australia dalam bentuk capacity building atau peningkatan kemampuan sumber daya manusia dalam bentuk pelatihan-pelatihan, seperti Pelatihan Maritime English untuk operator radio dan operator VTS, pelatihan tenaga pandu, serta pelatihan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan laut.

Terkait isu pencemaran lingkungan, Sugeng menjelaskan bahwa Indonesia juga berharap Australia dapat membagikan pengalamannya terkait manajemen air balas. Hal ini diajukan mengingat permasalahan perairan suatu negara dapat berdampak pada negara-negara tetangga.

“Oleh karena itu, kita berharap dapat belajar banyak dari Australia yang sudah jauh lebih dulu menerapkan aturan tentang manajemen air balas,” tutur Sugeng.

Pada kesempatan kali ini, Indonesia membahas tindak lanjut dari keinginan Australia yang disampaikan pada acara Roundtable Discussion pada bulan Maret lalu di Jakarta, untuk melakukan kerjasama terkait pengaturan komoditas pada kapal curah, khususnya setelah dikeluarkannya circular mengenai panduan baru keselamatan pengangkutan bauksit pada Sidang IMO Sub Committee on Carriage of Cargoes and Containers (CCC 4) pada September 2017 yang lalu.

Sugeng menjelaskan bahwa pada Sidang CCC 4 tahun lalu, pengangkutan muatan curah padat yang dapat berubah mengeluarkan air seperti bauksit menjadi perhatian oleh IMO. Selain pengangkutan bauksit, Indonesia juga menaruh perhatian terhadap pengangkutan bahan dasar nikel curah yang juga memiliki sifat serupa dan beresiko tinggi dapat mempengaruhi stabilitas kapal.

“Untuk itulah pada pertemuan ini, kita mengusulkan agar Australia dapat membagi pengalamannya terkait penanganan muatan jenis tersebut,” tutup Sugeng.