Menerjang badai demi tugas merupakan dedikasi tinggi yang dilakukan oleh Jahman Ramlan Koli (48), seorang penjaga Menara Suar atau kerap disebut Mercusuar di Pulau paling selatan Indonesia yaitu Rote Ndao. Yahman bercerita menjadi penjaga mercusuar seperti mimpi dan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Bukan hanya harus bertaruh nyawa dan mengalahkan rasa takut dari sendiri, Jahman juga harus rela menahan rindu tak bertemu dengan istri dan anak-anaknya.

Pria kelahiran Kupang 13 Juni 1971 itu mulai menjaga Mercusuar sejak tahun 1992. Mercusuar Tanjung Sasar di Sumba Timur merupakan tugas pertama dirinya. Dia juga pernah bertugas di Pulau Batek, perbatasan Timor Leste. Rasa gugup dan takut dalam dirinya kala itu masih sangat terasa namun demi menjalankan tugas dan tanggung jawab ia mengalahkan rasa takutnya.

“Saya pertamakali tugas di Sumba Timur, pastinya saya bingung karena baru pertama langsung ditinggal di Pulau kecil. Hanya ada saya dan bangunan Mercusuar saja di sana. Tapi saya harus bertanggung jawab atas tugas ini,” ujar bapak tiga orang anak ini.

Sejak saat itu rindu menjadi kata penuh makna. Bagaimana tidak? Jahman harus menahan rindu tidak bertemu istri dan anaknya yang kala itu masih kecil-kecil selama tiga bulan. Ia harus bertahan hidup dengan persediaan logistik yang terbatas di pulau kecil itu.

Namun ia sadar, profesi yang sedang dijalankan sangat penting bagi orang banyak. Sebagai penjaga Mercusuar, ia mempunyai tanggung jawab untuk menyalakan lampu di Bangunan Mercusuar yang tinggi agar kapal yang melintasi perairan tersebut tahu bahwa wilayah tersebut dangkal.

Penjaga Mercusuar mempunyai tugas menyalakan lampu Mercusuar saat malam hari sebagai tanda kepada kapal yang berlayar dangkalnya perairan tersebut. “Kami harus menyalakan lampu agar kapal tidak ada yang celaka. Jadi meski badai dan gelap harus tetap naik ke atas Mercusuar,” kisah Jahman yang hobi bermain musik.

Sudah dua tahun kebelakang Jahman mempunyai tugas menjaga Mercusuar di Rote Ndao. Selama tugas di sana, ia pernah mengalami lampu Mercusuar mati disaat hujan badai di malam hari. Seperti yang dikatakan diawal, tak pernah ada pilihan bagi penjaga Mercusuar ketika lampu mati, dia harus bergegas menyalakan kembali meski harus menaiki ratusan anak tangga untuk mencapai puncak.

“Pernah waktu di sini hujan badai dan begitu gelap. Ketika itu lampu Mercusuar padam, kami harus tetap menaiki atas menara dan kita mengerjakan lampunya sampai menyala kembali meski dalam keadaan gelap dan berat menerjang badai. Di sini tuh hujan angin setiap tahun,” kenang Jahman sambil menyeruput kopi hitam buatannya sendiri.

Bukan tanpa drama kehidupan, Jahman juga pernah menahan sakit dan tidak ada yang merawat. Ia hanya bisa memberikan informasi kepada rekannya di Kupang, NTT melalui radio pemancar SSB.

“Kalau sakit meski rindu dipeluk dan diperhatikan istri, harus tetap dilawan. Palingan kami memberikan info ke Kupang pakai radio pemancar SSB,” tuturnya.

Dengan perjuangannya dalam menjalankan tugas, Jahman berharap jika hal tersebut dapat dilakukan oleh seluruh insan perhubungan. Meski terkadang pendapatan yang diterima belum sesuai dengan tanggung jawab dalam tugas, jangan sekali-kali pikirkan hal tersebut. Keselamatan banyak orang ada ditangan Jahman dan petugas penjaga Mercusuar lainnya.

“Khususnya untuk insan perhubungan kita harus lebih bertanggung jawab dengan pekerjaan yang diberikan. Khususnya bagi penjaga menara suar, kita yang hidup di Menara terpencil kita bertanggung jawab atas pekerjaan kita kedepannya lebih bagus,” pesan Jahman.

Jahman juga berpesan kepada masyarakat agar lebih sadar keselamatan bertransportasi. Jangan sampai mengambil rambu suar yang ada di perairan. Menurutnya rambu suar sangat penting bagi kapal untuk menandakan keadaan laut.

“Masyarakat harus saling menjaga , kalau menara suar atau rambu suar ambil barangnya karena ini menjaga keselamatan perlayaran. Jangan mengambil barang seperti aki atau lain, karena kalau rambu suar kan ditempat yang kita tidak jaga. Jadi mereka harus tahu kalau itu sangat penting untuk masyarakat,” kata Jahman.

Sebelum perbincangan pagi itu berakhir, Jahman memperlihatkan kebolehannya bermain organ sambil bernyanyi lagu Indonesia Jaya.

“Hidup tiada mungkin, tanpa perjuangan tanpa pengorbanan mulia adanya. Berpegangan tangan satu dalam cita demi masa depan Indonesia Jaya,” senandung Jahman menutup perbincangan. (LKW/RDL)