PALU --- Siang itu matahari sangat terik. Hembusan angin laut tak mampu mengurangi panas yang menggigit kulit. Yang terjadi justru hembusan angin membawa aroma tak sedap di sekitar Pelabuhan Taipa, Palu.

Aroma tak sedap itu berasal dari kotoran sapi di sekitar pelabuhan. Meski petugas kebersihan di pelabuhan sudah berusaha untuk membersihkan dengan cara menyapu dan menyiram dengan air, namun aroma tak sedap itu tetap menyeruak di hidung. Karena sapi yang membuang kotoran secara sembarangan di sekitar pelabuhan, datangnya secara bertahap. Sapi-sapi itu adalah milik peternak di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah yang akan dijual ke Balikpapan maupun Samarinda di Propinsi Kalimantan Timur.

Dijual ke sana, karena selain permintaannya cukup tinggi, harga jualnya juga lebih menggiurkan. Di Sulawesi harga sapi Donggala hanya dihargai antara Rp 6 juta sampai Rp 10 juta per ekor, tergantung ukuran. Di Kalimantan Timur mencapai Rp 8 juta hingga Rp 12 juta per ekor. Harga akan melonjak menjelang Lebaran Idul Fitri maupun Idul Adha karena tingginya permintaan. Selisihnya bisa mencapai Rp 2-3 juta dibandingkan bulan sebelumnya.

Untuk memenuhi permintaan, pedagang harus mencari ternak tersebut ke desa-desa yang ada di pegunungan di Kabupaten Donggala dan Kabupaten Sigi. "Itu yang membuat peternak maupun pedagang sapi lebih memilih menjual ke Kalimantan Timur daripada dijual di Sulawesi Tengah", kata Salim, salah seorang pedagang sapi di Pelabuhan Taipa, Palu belum lama ini.

Untuk mengangkut sapi dari Sulawesi Tengah ke Kalimantan Timur, peternak maupun pedagang menggunakan kapal feri KM Madani dari Pelabuhan Taipa, Palu ke Pelabuhan Kariangau, Balikpapan. Data yang diperoleh dari Pelabuhan Taipa Palu, pengiriman sapi ke Kalimantan Timur rata-rata antara 120 hingga 150 ekor setiap bulannya.

Saat kami datang, sekitar 20 ekor sapi dalam berbagai ukuran itu dilepas ditempatkan di bagian belakang kapal. Sapi-sapi tersebut diikat dengan tali ke balok-balok yang dipasang melintang. Sebelum masuk ke dalam kapal, bagian belakang kapal yang akan digunakan sebagai tempat sapi-sapi ditaburi serbuk kayu. Sehingga kotoran sapi mudah dibersihkan.

Kapal dengan bobot 1.106 GRT yang dioperasikan oleh PT ASDP Indonesia Ferry ini memang menjadi satu-satunya andalan para peternak sapi. Selain peternak sapi, ada puluhan petani sayur-sayuran dan buah-buahan serta ribuan masyarakat yang akan pergi ke Kelimantan Timur sangat mengandalkan KM Madani, mengingat kapal bercat putih biru ini merupakan sarana utama mengangkut barang-barang dagangan terutama hasil pertanian dan perkebunan seperti sayur mayur jenis kol, wortel, sawi, daun bawang, serta buah-buahan seperti pisang, mangga, nangka, alpukat, tomat, cabai dan juga jagung dari Sulawesi Tengah ke Kalimantan Timur. Meski menjadi andalan bahkan menjadi satu-satunya alat penyeberangan yang aman, kondisi kapal bisa dikatakan jauh dari kata layak.

Dengan kecepatan antara 7-9 knot, dari Pelabuhan Taipa ke Pelabuhan Kariangau membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Jika ombak di Selat Makasar sedang tidak bersahabat, jarak tempuh menjadi lebih panjang yaitu 30 jam karena kecepatan kapal hanya bisa 4 knot. Bahkan jika cuaca sangat buruk, kapal bisa kembali ke pelabuhan asal. Kapal ini juga hanya melayani dua kali dalam seminggu.

Karena kondisi kapal yang jauh dari kata layak itulah, Dinas Perhubungan Sulawesi Tengah dengan pertimbangan keselamatan hanya mengizinkan penumpang yang naik hanya 249 orang dari kapasitas 400 penumpang. "Kita tidak mau ambil resiko", kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pelabuhan Ferry Taipa Palu, Rocky Surentu.

Tarif satu kali penyebrangan sepanjang 208 mile, sebesar Rp 140.000. Tarif itu untuk biaya penyeberangan Rp 122.000 dan Rp 18.000 untuk biaya makan sepanjang perjalanan. Untuk hasil pertanian dihitung berdasarkan berat yaitu Rp 33.000/koli. "Pemda Palu memberikan subsidi dalam bentuk bahan bakar minyak (BBM) dan gaji nakhoda, awak kapal dan petugas darat yang berjumlah 25 orang", jelas Ariadi, supervisi dari PT ASDP.

Yang menjadi permasalahan adalah, bilamana kapal harus melakukan docking. Aktifitas pelabuhan pun menjadi lumpuh. Masyarakat, peternak dan pedagang pun harus menderita karena tidak bisa memanfaatkan jasa KM Madani yang sudah berusia 15 tahun.

Contohnya tahun 2012 lalu. Kapal harus melakukan docking, padahal saat itu menjelang bulan puasa dan lebaran, dimana masa-masa tersebut adalah masa `panen` bagi para pedagang kecil dan menengah di Palu dan Balikpapan karena kebutuhan masyarakat Kaltim sangat tinggi terutama buah-buahan untuk buka puasa, telur dan sayur-mayur. Tapi mereka urung menangguk untung karena KM Madani tidak beroperasi.

Karena tidak ingin kehilangan rejeki, sebagian pedagang terpaksa mengalihkan barang mereka untuk diangkut lewat penyeberangan Mamuju, Sulawesi Barat, namun biaya angkut terlalu mahal karena jarak antara Palu dan Mamuju mencapai hampir 500 km. Ada juga pedagang yang nekat, yaitu menggunakan kapal kayu dari Pelabuhan Owani, pelabuhan rakyat di Kabupaten Donggala.

Yang menjadi kekhawatiran Rocky adalah, selain kondisi kapalnya yang sangat tidak layak untuk mengangkut barang dalam jumlah banyak, dan sangat riskan untuk melewati Selat Makassar yang dikenal ganas, para penumpang juga tidak diasuransikan. "Lebih parahnya lagi, Syahbandar di sana mengabaikan faktor keselamatan. Meski BMKG merilis kondisi cuaca yang buruk, sehingga kapal tidak boleh berangkat, tapi Syahbandar tetap melepas kapal kayu tersebut dengan alasan desakan penumpang", papar Rocky.

Bukan hanya orang, sapi dan hewan ternak pun membutuhkan kapal yang layak dan stabil. Karena jika kapal tidak stabil akan membuat sapi merasa tidak nyaman dan akibatnya bisa bergerak kemana dia suka. "Ini bisa mengakibatkan kapal berguncang yang pada akhirnya bukan hanya mengancam keselamatan sapi dan hewan ternak lainnya, tapi juga keselamatan penumpang kapal kayu itu", jelas Rocky. Oleh karena itu, Rocky berharap pemerintah pusat mencari jalan keluar, yaitu dengan menyediakan kapal fery yang lebih layak, memenuhi faktor keselamatan dengan kecepatan dan kapasitas yang lebih dari KM Madani.

"Saya sudah mengajukan ke PT ASDP dan dan Ditjen Perhubungan Darat tahun 2012 lalu. Keluhan juga sudah saya sampaikan ke Pak Wiratno saat berkunjung ke Taipa. Tapi sampai hari ini tidak ada respon", kata Rocky.

Komisaris PT ASDP Indonesia Ferry Wiratno yang dihubungi secara terpisah membenarkan bahwa pihaknya pernah  datang ke Pelabuhan Taipa dan melihat kondisi KM Madani yang cukup memprihatinkan. "Betul saya sudah ke Taipa dan melihat kondisi KM Madani", ujar Wiratno.
Mantan Direktur ASDP Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan mengatakan akan segera memberikan masukan mengenai kondisi kapal yang ada di Palu kepada Direksi.

"Saya sampaikan terima kasih atas informasinya dan akan saya dorong agar supaya manajemen PT ASDP memberikan perhatian khusus pada masalah ini", ujar Wiratno.

Dirjen Perhubungan Darat Suroyo Alimoeso mengaku belum ada laporan mengenai permintaan tambahan kapal penyeberangan untuk rute Pelabuhan Taipa ke Pelabuhan Kariangau. "Permintaannya ditujukan kemana? Ke PT ASDP atau ke Ditjen Perhubungan Laut? Kalau ke saya (Ditjen Perhubungan Darat) belum ada. Kalau ada pasti akan saya perhatikan betul-betul, apalagi ini untuk kepentingan masyarakat banyak", kata Suroyo.

Sementara itu Kepala Dinas Perhubungan Propinsi Sulawesi Tengah Hindro Surahmat ATD mengatakan, jika PT ASDP atau pemerintah pusat berencana memberikan tambahan beberapa kapal, selain akan menambah frekuensi penyeberangan dari Pelabuhan Taipa ke Pelabuhan Kariangau sehingga terjadi crossing, ia juga akan mengusulkan untuk membuka rute baru dari Pelabuhan Taipa ke Pelabuhan Lok Tuan, Bontang, Kalimantan Timur.

Hindro menjelaskan, banyak masyarakat Sulawesi Tengah yang bekerja di sektor tambang dan minyak di Bontang. Selama ini pekerja dari Sulawesi Tengah menggunakan penyeberangan ke Kariangau, selanjutnya masih harus menempuh perjalanan darat sekitar 300 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 6-7 jam.

Sama seperti halnya Balikpapan, Bontang merupakan salah satu pasar potensial bagi para peternak sapi dan pedagang sayur dan buah-buahan dari Sulawesi Tengah. Karena ketidaktersediaannya alat transportasi ke Bontang, hingga saat ini masyarakat Sulawesi Tengah hanya membidik Balikpapan dan Samarinda.

"Kalau dari segi kajian ekonomi, dibukanya rute pelayaran baru ini akan memberikan manfaat bagi dua propinsi. Kami akan melakukan kajian lebih mendalam dan membicarakannya dengan Dishub Kaltim dan Dishub Kotamadya Bontang sehingga memiliki argumentasi yang lebih kuat", jelas Hindro. (Raharjo)