(Jakarta, 27/2/2012) Kapal-kapal  berbendera Indonesia yang selama ini tidak  termasuk dalam aturan internasional seperti Solas (Safety of Life at Sea),  Standard Training Certificate and Watchkeeping (STCW) , International Safety Management (ISM) Code, Marine Polution (Marpol)  kini wajib  menggunakan Standar Kapal Non Konvensi (SKNK), menyusul  terbitnya  Surat Keputusan Jenderal Perhubungan Laut  No. Um.008/9/20/DJPL-12 tentang Pemberlakuan Standar dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kapal Non Konvensi Berbendera Indonesia pada 16 Februari 2012.

Dengan berlakunya Standar Kapal Non Konvensi (SKNK) ini, maka Indonesia adalah negara yang ke 14 mempunyai standar kapal yang tidak diatur dalam konvensi-konvensi internasional. SK Dirjen Hubla ini merupakan regulasi teknis dari Keputusan Menteri Perhubungan No. 65 tahun 2009 tentang Standar Kapal Non Konvensi Berbendera Indonesia.

Menurut Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan, Leon Muhamad, kapal-kapal lama maupun kapal-kapal baru yang tidak diatur dalam  konvensi internasional harus menerapkan standar dan petunjuk teknis pelaksanaan kapal non konvensi.

”Jadi semua kapal yang belayar di bawah 500 GT, harus menggunakan standar kapal, dan kita (Pemerintah Indonesia) sudah memiliki standar kapal yang sudah mendapat pengakuan intenasional, baik dari IMO maupun dari negara-negara lainnya, yaitu Standar Kapal Non Konvensi,” ungkap Leon Muhamad, seusai menyaksikan Latihan Gabungan Pemadam Kebakaran di Pelabuhan Tanjung Priok, Senin (27/2).

Dalam ketentuan teknis itu disebutkan kapal non konvensi berbendera Indonesia meliputi, kapal penumpang yang hanya belayar di perairan Indonesia, seluruh kapal niaga yang tidak berlayar ke luar negeri, kapal-kapal barang berukuran GT dibawah 500 yang berlayar ke luar negeri, kapal yang tidak digerakan dengan tenaga mekanis (tongkang, pontoon dan kapal layar); Kapal-kapal kayu atau kapal layar motor (KLM) dengan mesin penggerak; Kapal-kapal pengkap ikan; Kapal-kapal pesiar; Kapal-kapal dengan rancang bangun baru dan tidak biasa (novel); Kapal-kapal negara yang difungsikan untuk niaga; dan semua kapal yang ada, yang mengalami perubahan fungsi.

Selain itu juga penerapan standar dan petunjuk teknis pelaksanaan kapal non konvensi berbendera Indonesia berlaku untuk; Kapal bangunan baru yang peletakan lunasnya dilaksanakan pada atau setelah tanggal 1  Januari tahun 2014 dan kapal bangunan lama yang jadwal pendokannya dilaksanakan sejak  tanggal 1 Januari 2013.

Sampai saat  ini diperkirakan sangat banyak kapal berbendera  Indonesia yang tidak menggunakan standar yang diatur berdasarkan konvensi internasional, karena memang konvensi itu tidak mengaturnya. Misalnya pada konvensi Solas, aturan dalam konvensi itu hanya untuk kapal berukurang 500 GT ke atas, sedangkan dibawahnya tidak diatur.
Untuk mengatasi agar kapal  non konvensi itu bisa berlayar, maka Kementerian Perhubungan dan Ditjen Hubla membuat surat keputusan sebagai regulasi terhadap kapal-kapal  dibawah 500 GT itu. Namun kekuatan regulasi itu sebatas di dalam negeri saja.

Pembuatan SKNK ini  tidak lepas dari peran Australia  yang pada tahun  2007  mendukung  Indonesia untuk membuat standar kapal non konvensi. Tawaran dari pihak Australia diterima Pemerintah Indonesia dan  Ditjen Hubla, Kementerian Perhubungan menyambutnya, sehingga membentuk tim ahli pelayaran untuk membuat draf standar kapal non konvensi.

Ketika masih menjadi draf  maupun sudah ditetapkan dengan  KM No. 65 tahun 2009, SKNK  terus menerus menjalani berbagai pembahasan secara umum, dengan tujuan adanya masukan dari sejumlah ahli sebagai penyempurnaan sampai akhirnya secara resmi keluarnya regulasi teknis beberapa waktu lalu. Dalam SKNK  berisi tentang standar Konstruksi Kapal, Peralatan, Perlengkapan Keselamatan, Mesin  dan Listrik, Garis Muat, Garis Muat, Pengukuran Kapal, Pengawakan, dan Manajemen Opersional.  (AB)